Tetapi untuk
menjamin kepastian hukum bagi
kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor
Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki
kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian
fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia.
Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak di
buatkan akta notaris dan didaftarkan di
kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan? Pengertian akta di bawah
tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara pihak-pihak dimana pembuatanya
tidak di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh
undang-undang (notaris, PPAT dll).
Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang
memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang
dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki
kekuatan pembuktian sempurna. Untuk akta
yang dilakukan di bawah tangan biasanya
harus diotentikan ulang oleh para pihak
jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan. Pertanyaannya
adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan?
Menurut pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan para pihak mengakui
keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam
prakteknya, di kampung atau karena kondisi
tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan lewat akta di bawah tangan
seperti dalam proses jual beli dan utang piutang. Namun, agar akta tersebut kuat,
tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat yang berwenang.
Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan
pembiayaan bagi konsumen (consumer
finance), sewa guna usaha (leasing),
anjak piutang (factoring). Mereka
umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan
fidusia bagi objek benda jaminan fidusia. Prakteknya lembaga pembiayaan
menyediakan barang bergerak yang diminta
konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen
sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan
kepada kreditur (pemberi kredit) secara
fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi
fidusia kepada kreditur yang dalam posisi
sebagai penerima fidusia. Praktek
sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu
kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik
debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.
Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan
salinannya diberikan kepada debitur.
Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima
fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti
terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat
tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam
melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara
fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan
di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat
disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.
Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan,
maka ia dapat meminta pengadilan
setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan
pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada
aparat kepolisian, pamong praja dan pamong
desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan
demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia
jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam
perjanjian kedua belah pihak.
Akibat
Hukum
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan
fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan
hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan
kesewenang-wenangan dari kreditor. Bisa
juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur
sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga
dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor
dan sebagian milik kreditor. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan
penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
dapat digugat ganti kerugian.
Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk
dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan
ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:
- Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
- Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.
Situasi
ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi
melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal
diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik
kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor
fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal
lain dapat terjadi mengingat bahwa
dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan
hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum
yang seimbang antara kreditor dan debitor.
Bahkan
apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan
kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang
jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia
yang dibuat. Mungkin saja debitor yang
mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan
sesuai
Pasal 372 KUHPidana menandaskan:
“Barang
siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya
bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling
lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Oleh
kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan
karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan
debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk
mendudukan porsi masing-masing pemilik
barang tersebut untuk kedua belah pihak.
Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang,
melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang
hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi
waktu dan pemikiran.
Lembaga
pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri
karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Poblem bisnis yang membutuhkan
kecepatan dan customer service yang
prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena
kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman. Bayangkan,
jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara lembaga pembiayaan
melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif
cepat.
Saat ini
banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani
jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove.
Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja.
Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditor sebagai pemilik dana.
Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis
industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang
menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.
Penulis juga mengkhawatirkan
adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara non pajak sesuai UU No. 20 Tahun
1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena jutaan pembiayaan (konsumsi,
manufaktur dan industri) dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai
potensi besar merugikan keuangan pendapatan negara.
Proses Eksekusi
Bahwa asas
perjanjian “pacta sun servanda” yang
menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh
pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya,
tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap
perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia
di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus
dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui
proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah
pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan
terhadap hukum materiil yang dikandungnya.
Proses ini
hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya
hukum yang tersedia. Biaya yang musti
dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar
margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga
harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi
Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar