Pendahuluan
Semaraknya pertumbuhan pasar terhadap kebutuhan akan
lembaga pembiayaan konsumen (consumer finance)/sewa guna usaha (leasing) terkait
erat dengan bertambah banyaknya lembaga-lembaga pembiayaan non bank sebagai
sarana pembiayaan penunjang investasi maupun produk komsumtif yang di butuhkan
oleh konsumen. Perkembangan ini sedikit
banyak dipengaruhi dengan tren model pembiayaan ekonomi global, tetapi sering kali dinegara-negara tertentu
belumlah lengkap perangkat hukum untuk mendukung perkembangan ini, hukum yang mengatur soal ini masih sangat
minim dan kadang merugikan pihak pelaku ekonomi yang bergerak dalam usaha
pembiayaan. Di Indonesia sendiri
perangkat hukum yang digunakan sebagai dasar hukum pelaksanaan lembaga pembiayaan adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHperdata) khususnya yang mengatur tentang Hukum
Perikatan (perjanjian) dan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan
Pemerintah No. 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan
Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
Kedua peraturan ini juga ditunjang dengan berbagai peraturan Menteri
Keuangan dan Peraturan Bank Indonesia
mengenai aspek teknis pelaksanaan lembaga pembiayaan.
Pengertian
dan Pengaturan Jaminan Fidusia
Pembiayaan dengan sistem sewa guna usaha (lease) atau
ada yang menyebut dengan sewa-beli dan pembiayaan konsumen (consumer finance),
sudah digunakan sejak jaman belanda (Kolonial)
dengan mengunakan Jaminan fidusia, dan
selama ini perjanjian pinjam-meminjam menggunakan aturan UU No. 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan, yang sudah dianggap tidak tepat lagi. Istilah resmi fidusia yang ada dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang
Fidusia yaitu, Fidusia adalah “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas
dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan
tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda”, lebih tegasnya bahwa
pemilik benda tetap menguasai benda tersebut walau ada perjanjian pengalihan
kepemilikan. Sedangkan Jaminan Fidusia
Adalah Hak Jaminan atas benda bergerak
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana
dimaksud UU. No. 4 Tahun 1996, yang tetap didalam penguasaan pemberi fidusia
(debitor), sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang DIUTAMAKAN kepada penerima Fidusia (kreditor) terhadap kreditor
lainnya (jika dijaminkan lebih dari satu kreditor). Istilah Penerima Fidusia Adalah orang atau
koorporasi yang di anggap mempunyai piutang yang pembayaran di jamin dengan
Jaminan Fidusia, ini biasanya lembaga-lembaga pembiayaan (Finance/Multifinance)
yang ada sekaranng ini. Sedangkan Pemberi
Fidusia Adalah orang atau Koorporasi Pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia. UU Fidusia karena perjanjian
ini berdasarkan kepercayaan makanya Lembaga Penerima Fidusia (finance) mendapat
perlindungan dan hak lebih diutamakan.
Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu
perjanjian pokok yang menimbulkan hak dan kewajiban para pihak untuk memenuhi
suatu prestasi. Agar Perjanjian Jaminan Fidusia mempunyai kepastian hukum, maka
setiap jaminan fidusia wajib di buatkan Akta oleh Notaris dan di daftarkan di
Kantor Pendaftaran Fidusia yang ada di Kantor Wilayah Hukum dan HAM di tiap
Propinsi sesuai Keppres No. 139 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Kantor Pendaftaran
Fidusia di Kanwil Hukum dan HAM, bahkan dalam Penjelasan Pasal 12 UU Fidusia
Kantor Pendaftaran Fidusia dapat di dirikan pada level Kabupaten atau Kota jika
di butuhkan. Pendaftaran ini diperlukan untuk memberikan perlindungan dan
kepastian hukum baik penerima fidusia (finance) dan pemberi fidusia (orang atau
badan) karena dasar perjanjian yang kepercayaan (trust) kedua belah pihak. Dengan Pendaftaran Jaminan Fidusia maka para
pihak akan mendapat Sertifikat/akta Jaminan Fidusia sebagai salinan dari buku
pendaftaran fidusia. Dalam sertifikat
jaminan fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA” yang mempunyai nilai sama dengan putusan pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap dan memiliki hak eksekutorial terhadap benda objek jaminan
fidusia. Disinilah negara atas nama
hukum memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi penerima fidusia atau
perjanjian apapun yang di ikuti dengan adanya jaminan fidusia. Eksekusi dapat
dilakukan dengan cara titel
eksekutorial, penjualan benda objek Jaminan Fidusia melalui pelelangan maupun
dengan cara penjualan bawah tangan, terhadap
penjualan bawah tangan maka harus ada pemberitahuan terhadap penerima
dan pemberi fidusia dan diumumkan melalui media massa.
Selain itu ditegaskan bahwa pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang
menjadi jaminan fidusia. Selain itu
terdapat ancaman pidana selama 2 tahun dan denda 50 juta bagi pemberi fidusia
(orang atau korporasi) yang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan benda
objek jaminan fidusia tanpa persetujuan dari penerima fidusia.
Analisis Yuridis Jaminan Fidusia Dalam Aspek Hukum Perdata dan Pidana
Bahwa menjadi kewajiban bagi setiap perjanjian yang
memberikan perjanjian ikutan berupa Jaminan Fidusia untuk mendaftarkan di Kantor
Pendaftaran Fidusia, sebagai upaya memberikan kepastian hukum bagi penerima
fidusia (kreditor) dan pemberi fidusia (debitor), pemberian kekuatan
eksekutorial dalam sertifikat jaminan fidusia
selain memberi jaminan bagi penerima fidusia, juga untuk menghindari
kesewenangan penerima fidusia dalam melakukan eksekusi objek barang fidusia
dari pemberi fidusia sehingga terdapat keadilan bagi kedua belah pihak. Kewenangan eksekutorial tersebut baru didapat
setelah penerima fidusia kuasa atau wakilnya mendaftarkan jaminan fidusia
ke Kantor Pendaftaran Fidusia dan
mendapat sertifikat jaminan fidusia yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
prosedur dan tarif pendaftaran jaminan fidusia tercantum dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia
dan Biaya Pembuatan akta Jaminan Fidusia.
Bahwa kesepakatan atau perjanjian antara Pemberi Fidusia dan Penerima
Fidusia yang memberikan Jaminan Fidusia, tidak serta merta memiliki kekuatan
eksekutorial apabila hanya didasarkan pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1320 KUHperdata mengenai syarat-syarat sahnya
perjanjian/perikatan yaitu :
- adanya
kesepakatan kedua belah pihak
- kecakapan/kelayakan
para pihak
- hal tertentu
- sesuatu
yang legal atau halal.
Bahwa segala bentuk perjanjian yang mengikutkan adanya
Jaminan Fidusia harus didaftarkan, karena segala tindakan terhadap benda objek
Jaminan Fidusia yang tidak didaftarkan secara perdata dapat dimungkin terjadi
tindakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Pasal 1365 KUHPerdata (bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut), bahkan dapat dimungkinkan terjadi tindak pidana dalam
penguasaan benda objek Jaminan Fidusia, baik dilakukan oleh Pemberi Fidusia (debitor) seperti yang
tercantum dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Pasal 36 atau
dilakukan oleh Penerima Fidusia (kreditor) karena bertindak sepihak dalam
eksekusi sehingga dapat memenuhi unsur-unsur pidana sebagaimana di atur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Masalah-masalah dalam perjanjian jaminan fidusia di
atas sebetulnya tidak perlu terjadi bila perangkat hukum dapat mengakomodasi
berbagai kepentingan perkembangan ekonomi, konsepsi sewa guna usaha/sewa beli
dalam perkembangannya sudah sangat cepat dan melewati batas sistem hukum yang
ada, karena model pembiayaan leassing/customer
finance banyak mengakomodasi perkembangan hukum bisnis di kawasan Eropa dan
Amerika yang sistem hukumnya lebih baik dan mendukung perkembangan
ekonomi. Sehingga penggunaan instrumen
hukum Jaminan Fidusia oleh lembaga pembiayaan konsumen di Indonesia
memang membawa implikasi hukum yang rumit, walaupun bertujuan menciptakan
kepastian dan jaminan hukum diantara kedua belah pihak.
Berbagai
Permasalahan Jaminan Fidusia
Berbagai hal dalam konteks kekinian, ketika pembiayaan
konsumen begitu booming maka persaingan usaha antar lembaga pembiayaan menjadi
semakin ketat, bahkan belakangan hal tersebut tidak diikuti aturan hukum yang
masih berlaku mengenai jaminan fidusia sehingga berimplikasi adanya dugaan
melakukan perbuatan melawan hukum, walaupun dugaan tersebut banyak yang
menyatakan bahwa itu untuk mengganjal
pertumbuhan industri keuangan (finance
industries) yang lagi berkembang ditengah sektor ril yang tergagap-gagap akibat
desakan pasar ekonomi global.
Dari informasi yang ada di Kantor-Kantor Wilayah Hukum
dan Ham yang membawahi Kantor Pendaftaran Fidusia, bahwa banyak pertumbuhan
lembaga pembiayaan leasing, consumer
finance bahkan anjak piutang (factoring) dan kartu kredit, dalam penggunaan
instrumen hukum jaminan fidusia sangat sedikit hanya sekitar 5 (lima)% dari
data penjualan barang kepada konsumen terutama produk pembiayaan konsumen
terutama kendaraan transportasi yang dikeluarkan distributor, ataupun data
rilis nasional angka penjualan kendaraan transportasi yang mencapai jutaan unit
(kendaraan roda dua dan empat).
Keengganan lembaga pembiayaan mendaftarkan jaminan fidusia karena
pembebanan biaya tambahan jika didaftarkan baik akta notaris dan sertifikat
fidusia sehingga dianggap menimbulkan biaya tinggi, padahal dengan pendaftaran
fidusia lembaga-lembaga finance mendapat perlindungan hukum yang lebih
pasti. Lembaga-lembaga pembiayaan yang membiaya alat-alat produksi berat dan
bernilai tinggi yang mendaftarkan jaminan fidusia, tindakan ini cenderung
sangat berisiko bagi lembaga pembiayaan secara hukum, bahkan dapat merugikan
negara dalam sektor penerimaan negara bukan pajak. Ini posisi dilematis bagi
sektor bisnis, karena instrumen hukum tidak berkembang sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan bisnis.
Salah satu yang belakangan dipersoalkan adalah bahwa
dengan tidak didaftarkan ke kantor jaminan fidusia, maka negara akan kehilangan
pendapatan bukan pajak yang didapat dari pelayanan negara tersebut sesuai
dengan UU No. 20 Tahun 1997 Tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak, sebagai
perwujudan dari tugas dan fungsi negara-pemerintah dalam menjalankan fungsi
pelayanan, pengaturan, perlindungan masyarakat, pengelolaan kekayaan negara
serta pemanfaatan kekayaan negara demi ketertiban dan kepastian hukum hubungan
negara dan warga negara. Serta PP No. 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara
Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Problem yang muncul dalam penerimaan negara bukan pajak adalah dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf d dari penerimaaan dari kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan pemerintah. Bisa
dibayangkan berapa milyar rupiah pendapatan negara bukan pajak yang tidak
disetor akibat dari tidak didaftarkan setiap perjanjian yang mengikutkan
adanya jaminan fidusia. Kita bisa lihat
dari dari daftar tarif resmi sertifikat
fidusia berdasar lampiran PP No. 86
Tahun 2000 yaitu :
BIAYA PEMBUATAN AKTA JAMINAN
FIDUSIA
No.
|
NILAI
PENJAMINAN
|
BESAR
BIAYA
|
1.
|
< Rp 50.000.000,00
|
Paling banyak Rp
|
50.000,00
|
2.
|
< Rp 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00
|
Rp
|
100.000,00
|
3.
|
< Rp 100.000.000,00 s/d Rp 250.000.000,00
|
Rp
|
200.000,00
|
4.
|
< Rp 250.000.000,00 s/d Rp 500.000.000,00
|
Rp
|
500.000,00
|
5.
|
< Rp 500.000.000,00 s/d Rp 1.000.000.000,00
|
Rp
|
1.000.000,00
|
6.
|
< Rp 1.000.000.000,00 s/d Rp 2.500.000.000,00
|
Rp
|
2.000.000,00
|
7.
|
< Rp 2.500.000.000,00 s/d Rp 5.000.000.000,00
|
Rp
|
3.000.000,00
|
8.
|
< Rp 5.000.000.000,00 s/d Rp 10.000.000.000,00
|
Rp
|
5.000.000,00
|
9.
|
< Rp 10.000.000.000,00
|
Rp
|
7.500.000,00
|
Biaya tersebut menjadi kewajiban pungut penerima
fidusia yang diambil dari pemberi fidusia yaitu konsumen leasing atau customer
finance, belum termasuk akta notaris. Jika tidak lakukan maka proses perjanjian
antara para pihak yang mengikutkan perjanjian jaminan fidusia yang tidak
disertai dokumen resmi jaminan fidusia, bisa dinyatakan cacat hukum atau batal
demi hukum perjanjian jaminan fidusia tersebut beserta hak dan kewajiban kedua
belah pihak, karena tidak ada yang memberi jaminan apapun jika terdapat
pelanggaran/wanprestasi diantara pihak jika ada pengingkaran, penggelapan,
pengalihan dll terhadap benda objek
jaminan fidusia. Lebih jauh bahwa salah
satu manfaat dari pendapatan negara bukan pajak adalah diperuntukan untuk
penegakan hukum, maka terhadap wajib bayar
pendapatan negara pajak sama kewajibannya dengan pembayaran pajak,
sehingga terhadap pembayaran yang belum dilakukan karena lalai atau kesengajaan
jika terbukti harus tetap dihitung sebagai kewajiban terutang yang wajib
dibayar/ditagih. Sebab jika terbukti
dengan sengaja wajib bayar melanggar pasal 21 UU No. 20 1997, tidak bayar,
menyetor atau melaporkan dll maka ancaman hukuman 6 (enam) tahun penjara dan
denda, secara formil jika terbukti maka pasti termasuk perbuatan melawan hukum
(pidana/perdata). Bahkan ada yang
mengaitkan dengan pelanggaran dan dugaan korupsi sesuai UU No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
mungkin bisa kita amati definisi tindak pidana korupsi pasal 2 ayat (1) selengkapnya Yaitu “ setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana seumur hidup
atau pidana paling singkat 4 (tahun) dana dan denda 200 juta rupiah”, definisi
ini jika hendak ditarik bisa juga masuk, tetapi memang terkesan jadi “dipaksakan”
tetapi melihat fakta di atas bisa jadi secara formil masuk juga unsur
pidana korupsinya (pembuktian hukum kita adalah formil).
Inilah jika ditarik berdasarkan teori hukum dan
pengaturan yuridis, maka aspek hukum yang masuk dalam proses pelanggaran
Jaminan fidusia sangat banyak, KUHperdata, KUHpidana, UU Fidusia, UU Pendapatan
Negara Bukan Pajak, UU Korupsi mungkin juga masuk dalam pelanggaran persaingan
usaha bisnis dll.
Lalu, dengan begitu banyaknya problem yuridis tersebut
dalam prosedur jaminan fidusia dan sudah berkembangannya bisnis pembiayaan
secara pesat, tentunya tidak elegan juga jika semua pihak mencari-cari
kesalahan lembaga pembiayaan , karena hukum ternyata tertinggal dalam menjawab
kebutuhan dalam bisnis dan perkembangan ekonomi masyarakat. Tetapi lagi-lagi
aturan formil yang ada saat ini faktanya tela terjadi pelanggaran, sementara teroboson
hukum dalam melengkapi dan mengisi kekosongan hukum dalam proses pelaksanaan
lembaga pembiayaan belum banyak dilakukan atau memang dibiarkan atau memang
bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, tergantung dari sudut pandang dan
cara menilainya.
Format Baru
Payung Hukum Jaminan Hukum Lembaga Pembiayaan ? Mempertangungjawabkan Resiko ?
Dua kalimat tanya ini, dapat menggambarkan tantangan
bagi dunia bisnis pembiayaan di Indonesia,
baik resiko hukum dan kelangsungan
bisnis yang lebih baik kedepan.
Problema lembaga pembiayaan bukan hanya dalam melaksanakan bisnis dengan
konsumen saja, tetapi juga kebijakan ekonomi pemerintah terkait dengan lembaga
pembiayaan non bank yang masih sangat kurang pengaturan hukumnya, selain itu
sejak konsep pembiayaan dikenal di Indonesia sejak tahun 1974 hingga
sekarang, banyak sekali pasang
surut. Karena bisnis lembaga pembiayaan
berdasar fidusia yang mengandalkan kepercayaan para pihak, sangat rentan dan
sensitif dengan setiap gejolak ekonomi, fluaktuasi bunga bank, akses sumber
dana dari perbankan, stabilitas sosial, politik dan kerangka kebijakan ekonomi
pemerintah yang sering berganti-ganti.
Pertumbuhan lembaga pembiayaan sudah menjadi tren global, tinggal bagaimana
kita menyikapinya.
Kondisi ini yang harus segera di tanggapi oleh APPI
(Assosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia) sebagai wadah
lembaga-lembaga pembiayaan dengan berbagai segmentasi untuk menjawab tantangan
hukum dan bisnis ke depan. Dan bagi pemerintah/penegak hukum adalah kewajiban
bahwa aturan yang ada sekarang harus mesti ditegakan atau di perbaiki. Dan
masyarakat sebagai penguna atau pelaku
dalam bisnis pembiayaan harus tahu hak dan kewajiban sebagai konsumen
dan warga negara. Sampai saat ini
masyarakat masih banyak yang awam
mengenai aturan hukum lembaga pembiayaan, maka sosialisasi menjadi
penting untuk mendorong proses keadilan dan kelanjutan pertumbuhan ekonomi
menjadi tugas kita semua.
***
- Advokat pada Kantor
Bantuan Hukum (KBH) Lampung dan Gracenugroho and Partners